
*Dalam Dialog Bersama di Kantor Gubernur Sulsel Terungkap Perusahaan Tambang Jangan Abaikan Adat Budaya dan Ekonomi Masyarakat
MAKASSAR Linteranews — Untuk kesekian kali perusahaan pertambangan disorot. Kali ini, Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) kembali menekankan pentingnya peningkatan perekonomian masyarakat di wilayah operasi pertambangan, menjaga ekosistem, dan cagar budaya dari kerusakan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan khususnya di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Hal ini terungkap dalam dialog bersama pemangku kepentingan sektor pertambangan yang berlangsung di ruang rapat pimpinan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Senin 22 September 2025.
Agenda ini merupakan bagian dari pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dialog dihadiri Sekda Pemprov Sulsel, Jufri Rahman, perwakilan kementerian, pemerintah daerah, perusahaan tambang, akademisi, serta masyarakat adat, termasuk perwakilan Pancai Pao. Tiga poin utama hasil dialog dalam pertemuan ini.
Komite II DPD RI mencatat tiga poin penting yang perlu ditindaklanjuti:
1. Penguatan Implementasi UU 2/2025 – termasuk hilirisasi sektor pertambangan, penetapan wilayah tambang, peningkatan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat lokal.
2. Tata Kelola Sosial dan Lingkungan – perusahaan wajib melaksanakan reklamasi pasca-tambang, menjaga kelestarian lingkungan, melindungi tanah ulayat, dan melibatkan masyarakat adat.
3. Sinergi Lintas Pihak – diperlukan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat untuk memastikan pertambangan berjalan sesuai prinsip keadilan sosial, keberlanjutan, dan kearifan lokal.
Pesan Pimpinan DPD-RI
Pimpinan Komite II DPD RI, Andi Abdul Waris Halid, menegaskan komitmen lembaganya dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diatur Pasal 22D ayat (3) UUD 1945.
“Tujuan kegiatan ini adalah memperoleh informasi nyata terkait situasi pertambangan mineral dan batubara di daerah, sekaligus menampung masukan konkret dari semua pemangku kepentingan. Kami ingin memastikan pelaksanaan UU Pertambangan sejalan dengan prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan penghormatan pada kearifan lokal,” jelas Waris.
Ia menambahkan, perusahaan tambang, khususnya PT Vale Indonesia, diingatkan agar memperkuat program tanggung jawab sosial yang seakan tidak menjalankan kewajiban program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan memberi perhatian khusus pada pelestarian adat, budaya, serta pemberdayaan tenaga kerja lokal.
Aspirasi Masyarakat Adat
Dalam forum ini, Pemegang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief To Pallawarukka SH, menekankan bahwa adat dan budaya tidak boleh diabaikan dalam praktik pertambangan.
Menurutnya, CSR perusahaan seharusnya menyentuh aspek sosial-budaya, bukan hanya pembangunan fisik.
“Adat adalah mekanisme sosial yang membentuk masyarakat untuk hidup rukun, menjaga lingkungan, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Jika adat diperkuat, perusahaan pun akan lebih diuntungkan,” tegas Abidin.
DPD RI sudah menegaskan, pengelolaan pertambangan di Sulawesi Selatan harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat, menjaga warisan budaya, serta melestarikan lingkungan hidup. Perjuangan masyarakat adat yang hadir dalam forum ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan identitas bangsa dan kesejahteraan rakyat. (***)
